Road to Married (1)

Seminar Pendidikan Nasional yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa (HIMA) dan Himpunan Mahasiswi (HIMI) Persatuan Islam komisariat Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung menjadi awal dari perjuanganku.

Pukul 06.00 dari Tasikmalaya menggunakan APV milik salah seorang asatidz Pesantren, kami berangkat dengan sedikit kecewa. Pasalnya, rencana sampai di Bandung pukul 08.0o sepertinya tidak akan terealiasasi. Kesepakatan pukul 05.00 kita berangkat. Namun ada satu dan lain hal yang menghambat rencana. Ya sudahlah, kami berangkat pukul 06.00 WIB (Waktu Islam Bangkit, āmīn).


Ada hal yang membuat kami khawatir. Perjalanan yang penuh tantangan. Di jalan beberapa kali kami mendapat shock teraphy. Rupa-rupanya, driver kami  baru belajar mengemudi. Wah... jantung ini tegang menyaksikan dan merasakan bagaimana sang sopir membawa mobil. Wuih... seru tapi takut...!

Sesampainya di lokasi, kami telat. Super telat. Seminar sudah berjalan lama. Registrasi yang cukup memakan waktu pun membuat kami harus terlantar di pelataran aula. Hufh, cape deh...!

Di aula seminar, kami hanya kebagian materi kira-kira empat puluh menit. Itu pun plus dengan dialog interaktif dan pembagian doorprize. Tapi tidak apa-apa. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Lumayan ada pengetahuan yang bisa ditabung di ingatan juga diamalkan.

Bubaran seminar kami rehat. Karena sudah menjadi kultur bahwa di setiap event seperti seminar selalu ada bazar buku dan yang lainnya. Waktu itu, aku melihat-lihat buku yang dijajakan panitia. Dan, kebetulan penjaga stand waktu itu adalah seorang akhwat yang mengenalku. Tapi aku sendiri kurang mengenalnya saat itu.

Kubeli dua buah buku yang menarik perhatian. Buku pertama adalah Al-Quran The Healing Book dan yang kedua Speech Course. Kami melakukan khiyar. Aku menawar agar harga yang dibandrol turun sedikit saja. Tapi akhwat itu keukeuh tidak memberi diskon. Hm, demi mengamalkan titah Rasul bahwa Allah sangat cinta kepada pedagang dan pembeli yang saling memudahkan, maka aku pun memutuskan untuk membeli buku itu tanpa potongan harga sedikitpun.

Kami tidak sempat berkenalan. Yang kutahu bahwa ia adalah alumnus pesantren tempatku sekolah dulu dan mengajar sekarang. Sebenarnya ia tahu bahwa diriku adalah sebagai salah satu staf pengajar di pesantren itu. Tapi aku kurang mengenalnya. Maklum tidak terlalu akrab dengan akhwat.

Ternyata dunia ini sempit. Banyak alumnus pesantren kami yang berkumpul di sana. Subhānallāh... sudah pada jadi orang rupanya. Memangnya dulu mereka bukan orang? Wah... jangan gegabah ya sampeyan...! He...

Berselang beberapa minggu, peristiwa itu sudah menjadi “sampah” di benakku. Yang terkesan kuat adalah perjalanan pergi dan pulang. Dag dig dug der...!!! Dadaku dipenuhi rasa khawatir. Takuuuttt...!!! Mobil yang dikendalikan “ngamuk” luar biasa sperti singa muda yang hendak menerkam mangsa.

***

Salah satu adik kelas waktu aku sekolah di pesantren dulu mengontakku. Tak biasanya setelah sekian tahun tidak berkomunikasi intensif, tiba-tiba ia menanyakan kesiapanku untuk menikah. Aku jawab saja, “Siap!” Walaupun dengan setengah hati. Ingin menikah sih, tapi kondisi rasanya belum memungkinkan ditambah target nikahku saat itu adalah usia 27 tahun. Sementara aku masih 26 tahun.

Setelah kutelusuri ada apa gerangan ia menanyakan kesiapanku menikah, ternyata ia bermaksud untuk mewasilahiku untuk melakukan taaruf dengan seorang akhwat. Ia bersama akhwat yang dulu menjaga stand buku di seminar itu bersiasat baik agar Aku berjodoh dengan seseorang. Baru kuketahui lewat rencana ini, akhwat yang jaga stand buku itu bernama Rahmi.

Akhwat yang akan diwasilahkan mereka denganku tempat asalnya di sebelah barat kotaku. Masih satu suku denganku. Sunda. Untuk sampai ke tempat asalnya aku harus menempuh kurang lebih enam jam melewati beberapa kota termasuk Bandung. Hm, cukup  jauh menurutku.

Melihat dan mempelajari biodata tentang akhwat itu melalui facebook, aku merasa cocok. Tapi entah kenapa waktu itu, aku tidak berani untuk segera menyatakan ya atau tidak. Padahal hati kecil sudah mengatakan bahwa ini adalah kesempatan. Kapan lagi aku diwasilahi untuk bertaaruf kemudian aku merasa matching (cocok) dengan yang ditaarufi. Karena memang prinsipku adalah cinta dulu baru nikah. Matching first before acting. Cocok dulu baru beraksi. Dan, ini terjadi saat itu.

Akhirnya dengan pertimbangan jarak tempur yang cukup jauh, aku memutuskan dengan setulus hati walaupun sebenarnya cukup berat, untuk tidak bertaaruf dengan akhwat yang dikenalkan adik kelasku. Hufh, bukan jodoh kali. Apologis yang tak etis. Padahal, tepatnya aku kurang bernyali saat itu. Hihi...

Berselang satu bulanan, Rahmi terus berjuang dan berinisiatif mempertemukanku dengan teman akhwatnya yang benar-benar sudah siap. Kali ini aku tidak siap diwasilahi. Prinsipku tidak kena dalam usahanya mewasilahiku dengan salah seorang teman akhwatnya. Matching first before acting.

Akhirnya, aku gagal lagi mendapatkan akhwat yang pas dengan kriteriaku. “Ya Allah, kapankah aku menikah?” Hiks... Hiks...!

Category:

2 komentar:

abay mengatakan...

Assalamu'alaikum Ust.
Ceritanya kya running story gitu ya? Sip, jadi penasaran, lanjutannya ust,mana?

Qyuei mengatakan...

lanjutannya nanti diposting lagi, insya Allah..
tunggu ya..

Posting Komentar

ضَعْ تَعْلِيْقَكُمْ هُنَا (tiggalkan komentarmu di sini)